Harga: Rp.35.000 (blum ongkir)
Kondisi: Segel
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Dipantara, Jakarta, cet 9. oktober 2010
Tebal : 104 halaman.
Novel berupa roman ini merupakan salah satu karya dari penulis sastra
terbesar di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Novel ini termasuk tipis,
104 halaman, bisa dibaca dalam waktu singkat namun maknanya sangatlah
dalam.
Selain roman, isi dari novel ini juga bermakna hal religi, suatu yang
mengingatkan kita akan kematian yang tak bisa dihindari. Serta
perjuangan seorang gerilyawan (mantan gerilyawan) yang kecewa akan
politik negerinya dan tetap memilih jalan hidupnya untuk mengabdi
sebagai seorang guru.
Roman ini mengambil episode kira-kira pada masa revolusi dimana
seorang pria paruh baya, menikah dan bekas tawanan yang tiba-tiba
mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Terpaksa pria tersebut
mengorbankan pekerjaannya demi menjenguk ayahnya yang tinggal di Blora,
Jawa Tengah. Bersama istrinya beliau meninggalkan Jakarta menuju Blora
dengan dihantui perasaan kuatir dan merasa bersalah kepada ayahnya di
sepanjang perjalanan.
Sesampainya di Blora, diketahui bahwa ayahnya menderita TBC, penyakit
yang sedang mewabah saat itu dan dipastikan menyebabkan kematian.
Dideskripsikan dengan sangat mendalam oleh sang penulis akan penderitaan
ayahnya yang dirawat di Rumah Sakit. Kita pun dapat merasakan dan larut
terbawa cerita yang singkat namun sangat menawan ini. Tentang
silaturahmi sang pria – ‘aku’ sang tokoh utama – sebagai anak sulung
terhadap saudaranya yang lama ditinggalkannya. Kasih sayang antara ayah
dan anak, kasih sayang kakak terhadap adiknya yang selalu menangis
setiap menjenguk ayahnya, rasa penyesalan akan sikap kasar – yang
disampaikan via surat – sang pria terhadap ayahnya. Roman ini terus
mengingatkan kita akan cinta dan kasih sayang antara orang tua yang
sekarat dan anak-anaknya.
Salah satu kalimat menarik di dalam roman ini adalah “bila rumahnya
rusak maka yang punya juga akan rusak”. Seakan mengingatkan kita bahwa
kita juga harus terus memperbaiki lingkungan di sekitar kita –
lingkungan tempat orang yang kita sayangi – karena merekalah kita ada
dan tanpa mereka kita tak dapat hidup sendiri di dunia ini. Semuanya
adalah lingkaran kehidupan, cinta antara keluarga tak akan ada habisnya,
janganlah putuskan silaturahmi antara keluarga dan orang terdekat
karena kita hidup saling bergantungan.
Rasa kecewa ‘rakyat biasa’ – yang sampai saat ini masih kita rasakan –
tertuang pula dalam roman ini. Perihal sang ayah tidak segera tertolong
untuk dirawat di tempat khusus penderita TBC (sanatorium) karena hal
itu hanyalah harapan kosong biasa. Sanatorium saat itu hanyalah tersedia
bagi kalangan pejabat. Padahal sang ayah pernah mendapat tawaran jadi
wakil rakyat tapi ditolaknya karena menurutnya ‘perwakilan rakyat
hanyalah panggung sandiwara’ (mungkin kalimat inilah salah satu penyebab
mengapa roman ini dilarang terbit pada masa Orde Baru).
“Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan
berduyun-duyun pula kembali pulang…seperti dunia dalam pasar malam. “
(Pramoedya Ananta Toer).
Roman ini sangat menarik untuk dibaca. Selain dari segi sastra, roman ini juga bisa dikatakan berfungsi pula sebagai salah satu
media
psikologis dan agama. Dimana diingatkan kepada kita bahwa hidup di
dunia tidak bisa disamakan dengan rekreasi di pasar malam, di mana kita
bisa pergi dan pulang bareng-bareng untuk suatu hiburan. Kita lahir ke
dunia dan pasti kembali kepada-Nya. Di dunia ini bersiaplah untuk
dicabut nyawa kita – entah kapan – tapi pasti terjadi dan tidak dalam
waktu bersamaan seperti kita berkunjung ke Pasar Malam. Yang belum
dicabut nyawanya juga pasti cemas untuk menanti ‘gilirannya.’
SUMBER: http://mbakarlin.wordpress.com/2010/02/03/bukan-pasar-malam/